JAKARTA — Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sepakat, wakil kepala daerah dari kalangan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diajukan oleh kepala daerah terpilih dipilih oleh DPRD kabupaten/kota dan gubernur.
Hal itu diungkapkan oleh Dirjen Otononomi Daerah Kemendagri, Djohermansyah “Djo” Djohan, dalam dialog kenegaraan “Kepala Daerah Pecah Kongsi dan Imbasnya ke Pembangunan Daerah” bersama pengamat psikologi politik UI, Hamdi Muluk, dan senator DPD-RI, Dani Anwar, di gedung DPD-RI Jakarta, Rabu (13/3).
Menurut Djo, usulan wakil kepala daerah dimasukkan dalam RUU Pilkada untuk menghindari terjadinya pecah kongsi antara kepala daerah dan wakilnya di tengah atau akhir jabatan dalam pencalonan kembali sebagai kepala daerah.
“Pecah kongsi ini sangat mengganggu proses pembangunan di daerah dan menciptakan pemerintahan tak stabil dan tak efektif, bahkan menimbulkan konflik dan perpecahan di kantor pemerintahan daerah sendiri,” ujar Djo.
Selain itu, ada usulan bagi kepala daerah dan wakilnya yang maju ke pemilukada untuk kedua kali, yang bersangkutan harus mundur dan tugasnya dijalankan oleh pejabat pelaksana tugas (Plt). Tapi, kalau wakilnya tidak mencalonkan, tugas kepala daerah dilaksanakan oleh wakilnya.
“Itu penting agar incumbent tidak menyalah-gunakan APBD untuk kepentingan politiknya dalam kampanye. Ini masalah serius, agar tidak mengganggu proses pembangunan di daerah,” kata Djo.
Djo mengungkapkan, pemerintah mengusulkan pilkada dengan sistem mono eksekutif, hanya kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat, karena amanat konstitusi hanya pilpres yang dipilih langsung satu paket. Saat ini Kemendagri terus melobi sejumlah fraksi di DPR-RI menyangkut mono eksekutif tersebut.
“Kita tak ingin melihat konflik kepala daerah dan wakilnya terus berlangsung. Saat ini baru Partai Demokrat dan PPP saja yang setuju. Fraksi lainnya masih mengkaji, mendorong dan lainnya,” ujar Djo.
Sementara itu, untuk wakil kepala daerah diperlukan hanya bagi daerah-daerah yang penduduknya padat. Untuk daerah luar Jawa dan kota-kota besar, tak perlu wakil dan cukup dibantu oleh sekretaris daerah (sekda). Misalnya, kabupaten/kota berpenduduk 10 ribu jiwa, tak perlu wakil. Begitu pula provinsi, juga tak perlu wagub kalau hanya berpenduduk tiga juta jiwa.
“Hal ini berbeda dengan DPD yang mengusulkan, hanya wakil ditunjuk oleh Kemendagri, bukan oleh kepala daerah terpilih, untuk menghindari politisasi birokrasi. Dengan begitu, diharapkan bisa mengakhiri terjadinya pecah kongsi di pemerintahan daerah,” kata Djohan.
RUU Pilkada tersebut akan selesai April 2014. Isu-isu krusial yang muncul, antara lain soal sistem pilkada, cara pemilihan antara satu paket dan non paket, syarat pencalonan kepala daerah tak boleh ada dinasti keluarga, pilkada serentak, penyelesaian pilkada oleh MK atau MA, dan dana pilkada dari APBD atau APBN langsung.
“Khusus dana, mengingat KPUD merupakan satu kesatuan dengan KPU Pusat, sebaiknya dari APBN,” tegas Djo.
Usulan pemerintah tersebut diajukan karena sejak 1 Juni 2005 sampai Maret 2013 sebanyak 94 persen kepala daerah pecah kongsi, dan sekitar enam persen yang masih bertahan. Karena menggangu proses pembangunan dan stabilitas pemerintahan daerah, perlu ada terobosan kebijakan agar kasus demikian tak terulang.
“Ini masalah sangat serius dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Birokrasi bisa terpecah antara yang mendukung kepala daerah dan wakilnya. Ini bukan saja birokrasi yang semrawut, tapi pelaksanannya lebih amburadul lagi,” ujarnya.
Dalam kesempatan itu, Hamdi Muluk mengungkapkan, tak ada jaminan seorang pasangan kepala daerah tak akan pecah kongsi, baik dari satu parpol maupun beda parpol. Pada prinsipnya setiap orang punya kepentingan dan ideologi politik berbeda. Itu sudah terjadi sejak masa Bung Karno dan Bung Hatta, SBY-JK, yang terbukti pecah kongsi di tengah atau akhir jabatan. Parpol pun pasti menolak PNS menjadi wakil kepala daerah.
“Seperti suami isteri, diawali dengan pacaran dan janji nikah yang sangat religius, tak ada jaminan untuk tidak bercerai. Apalagi pasangan kepala dan wakil kepala daerah itu dipaksa atas politik pragmatis. Wajar kalau kemudian di tengah jalan pecah kongsi,” tegas Hamdi.
Harus diakui, tak banyak politisi memikirkan pembangunan jangka panjang, tapi yang difikir bagaimana bisa terus berkuasa dan menjadi orang nomor satu, di daerah maupun pusat. Mustahil parpol menerima PNS menjadi wakil kepala daerah, karena secara langsung akan menghambat dan mengurangi jatah kekuasaan parpol.
“Apalagi tradisi berpartai di negeri ini masih rendah, ditandai dengan banyaknya politisi pindah-pindah partai, seperti tak ada lagi ideologi dalam berpolitik,” kata Hamdi kecewa.
Anggota Komite I DPD-RI, Dani Anwar, menilai, pecah kongsi di pilgub, pilbub dan pilwako adalah hal biasa. Sebab, pasangan itu dicalonkan oleh parpol berbeda dan satunya karena dipaksa situasi dan kondisi politik yang memang pragmatis politik. Misalnya, karena kekurangan jumlah kursi DPRD sebagai syarat pencalonan dengan visi, misi dan ideologi politik yang berbeda pula.
Karena itu, perlu dibuat teorbosan-terobosan baru dengan merevisi UU Pilkada. Misalnya, pemenang pemilu legislatif secara otomatis sebagai pemenang eksekutif, agar ada proses kesinambungan pembangunan. Bagaimana pun juga bila tak bersesuaian jalan politiknya, pecah kongsi tak bisa dihindari.
“Apalagi terjadi dua komando dalam pemerintahan daerah, sehingga mengakibatkan terjadinya kubu-kubuan. Inilah yang menghambat pembangunan di daerah,” ujar politisi PKS ini meyakinkan. (infojambi.com/BS)